Sejarah Candi Kalasan : Bentuk Pemujaan Raja Panangkaran Terhadap Dewi Tara
Bangunan Candi Kalasan, Sleman.
Jumat (7/6/2024). Foto: Tiara Nur A’isah
Sleman – Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
tepatnya Kalasan, Sleman, terdapat sebuah bangunan candi yang berdiri megah di
tengah pemukiman warga. Candi ini bernama Candi Kalasan yang merupakan salah
satu bangunan dengan nilai historis yang kental kaitannya dengan pemikiran kuno
mengenai hakikat perempuan.
Berdasarkan prasasti Kalasan berangka
tahun 778 M yang ditemukan di lokasi candi, disebutkan Candi Kalasan dibangun
oleh Maharaja Tejaprana Panangkaran yang memuja keagungan Dewi Tara yang
dianggap sebagai dewi welas asih. Raja Panangkaran berasal dari wangsa
Syailendra dan memuja seorang dewi di tengah ingar-bingar pemujaan kepada dewa.
Keunikan Candi Kalasan direpresentasikan oleh bangunan candi
yang memukau kala terkena cahaya matahari senja. Pantulan cahaya ini
menciptakan semburat keemasan di tiap-tiap lekuk bangunan candi. Semburat
keemasan timbul karena adanya bajralepa yang
melapisi Candi Kalasan. Bajralepa merupakan
lapisan semen kuno atau plester yang terbentuk dari campuran pasir kuarsa,
kalsit, kalkopirit, dan lempung.
“Ya, itu, lapisan bajralepa
yang bikin candinya keemasan kalau ada cahaya bulan dan sorot matahari saat
sore,” tutur Dedy Haryono, penjaga Candi Kalasan, Senin (17/6/2024).
Dedy Haryono, Penjaga Candi Kalasan, Sleman. Jumat (7/6/2024). Foto: Intan Pinasti Hanifah
Dedy membeberkan alasan mengapa candi yang dibuat untuk
memuja dewi ini berlapiskan bajralepa.
Menurutnya, berdasar pada Prasasti Kalasan, cahaya keemasan bajralepa adalah wujud agung Dewi Tara
sebagai dewi welas asih yang menjadi satu-satunya pedoman arah di dunia dan
Suralaya (tempat pada dewa).
Dewi Tara merupakan simbolisme dewi dalam agama Buddha yang
dianggap sebagai pelindung dan penolong yang cepat, siap membantu mereka yang
memanggilnya dalam situasi kesulitan dan bahaya. Adanya pemujaan Dewi Tara oleh
wangsa Syailendra di Candi Kalasan menjadi awal domestikasi muncul di peradaban
masyarakat klasik. Bagus Kurniawan, dosen program studi Sastra Indonesia
Universitas Sebelas Maret (UNS) menyatakan pemikirannya mengenai sejarah candi
Buddha tertua ini.
“Adanya Dewi Tara ini kan menunjukkan perempuan harus welas
asih, perempuan tidak layak perang kalau
begitu, asumsinya perempuan layaknya, ya, merawat anak. Maka sebenarnya itu
adalah embrio dari domestikasi patriarkat,” ujarnya pada Rabu (19/6/2024).
Domestikasi patriarkat merupakan suatu paham yang
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang hanya berperan dalam urusan rumah
tangga saja. Pandangan ini menganggap bahwa tugas utama perempuan adalah
mengurus rumah sehingga mengabaikan potensi perempuan di bidang lain. Paham ini
memperkuat ketimpangan gender dan menghambat perkembangan perempuan yang setara
dengan laki-laki dalam berbagai aspek.
Bagus menafsirkan peradaban Candi Kalasan yang memuja
seorang dewi welas asih menjadi embrio patriarkat (tahap awal atau benih-benih
terbentuknya sistem patriarki dalam suatu masyarakat) tertua di masyarakat
Jawa. Sebelum adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan, mitologi yang
diciptakan melalui konstruksi agama dimanfaatkan untuk stereotip (pandangan
umum) mengenai perempuan sebagai lambang welas asih sementara laki-laki lambang
kekuatan.
Relung
Dhyani Buddha, Sleman, Jumat (17/6/2024) Foto: Rieke Deska Nur Aini
Estetika Candi Kalasan terpancar melalui detail pada tubuh
candi. Dalam Prasasti Kalasan, candi ini terdiri atas struktur tiga bagian yang
berkaitan dengan tiga dunia. Tiga dunia yang dimaksud adalah Kamavacara atau
alam bawah, Rupavacara atau alam nyata, dan Arupavacara atau alam keabadian.
Ukiran hias pada tubuh candi yang berupa sulur gelung dan relief dipahat halus
dan estetik untuk menggambarkan figur Bodhisattva Dewi Tara.
Menurut Rensa Wahyu, mahasiswa program studi Ilmu Sejarah
UNS yang pernah berkunjung ke Candi Kalasan, terdapat keunikan dari sejarah
candi Kalasan yang masih terjaga hingga kini.
“Candi Kalasan, itu, Dewi Tara, masih dipuja oleh penganut
agama Buddha. Yang saya tahu, masih ada kegiatan perabuan para biksu di hari
tertentu,” tutur lelaki berusia 20 tahun itu, Senin (17/6/2024).
Komentar
Posting Komentar